Ibadah dikatakan nikmat ketika kita dapat melakukannya dengan khusyuk dan tekun. Peluang seperti ini sangat dinantikan oleh umat Islam untuk memaksimalkan waktu mereka dalam berdzikir dan berdoa kepada Allah. Terutama jika waktu tersebut memiliki keutamaan dan pahala yang besar di sisi-Nya.
Tahukah kita bahwa waktu tersebut adalah awal hari sejak masuknya waktu subuh hingga berakhirnya waktu dhuha? Waktu ini sangat membawa keberkahan bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau pernah bersabda,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”
(HR. Abu Daud no. 2606 dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
Hadits ini tidak menunjukkan bahwa selain waktu pagi adalah waktu yang tidak diberkahi. Apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu tertentu adalah waktu yang berkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan bagi umatnya.
Mengapa Harus di Waktu Syuruq?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada waktu pagi karena waktu tersebut biasanya digunakan oleh manusia untuk memulai aktivitas. Waktu ini adalah waktu yang ideal untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.” (Syarhul Bukhari Libni Baththol, 9/163)
Karena waktu tersebut adalah waktu yang diberkahi, ada satu amalan yang menjadi kabar gembira bagi umat Islam. Yaitu memanfaatkan waktu tersebut untuk i’tikaf syuruq dengan memperbanyak dzikir dan shalat. Amalan ini didasarkan pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ , تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat subuh secara berjama’ah kemudian dia duduk berdzikir hingga terbitnya matahari, lalu mengerjakan dua raka’at shalat dhuha, maka dia telah mendapatkan pahala yang setara dengan pahala haji dan umrah. Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi, no. 586)
Menurut pendapat yang masyhur dari para ahli ilmu tentang hadits ini, amalan tersebut memberikan permisalan dalam hal pahala yang didapat dari shalat subuh berjama’ah dilanjutkan dengan dzikir dan shalat dhuha ketika matahari terbit dengan pahala yang didapat dari ibadah haji dan umrah. Ini tidak berarti bahwa amalan tersebut bisa menggantikan posisi ibadah haji dan umrah. Hadits ini juga merupakan motivasi untuk berdzikir kepada Allah ta’ala, duduk di masjid hingga terbit matahari, dan melaksanakan dua rakaat shalat dhuha setelahnya.
Apa yang Dimaksud dengan I’tikaf Syuruq?
I’tikaf syuruq menurut sebagian ahli ilmu sesuai dengan definisi umum i’tikaf, yaitu sunnah berdiam diri di masjid untuk menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan fokus beribadah. Ini bisa dilakukan pada malam, siang, sesaat, seharian, semalaman, atau beberapa hari maupun beberapa malam.
Secara syar’i, i’tikaf adalah bermukim di masjid dengan niatan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, baik di waktu siang maupun malam hari. Yang paling utama dilakukan di sepuluh akhir bulan Ramadhan. Namun, menurut pendapat yang kuat, i’tikaf tidak harus dilakukan dalam keadaan puasa dan bisa dilaksanakan pada malam atau siang hari, seperti i’tikaf syuruq. Hal ini didasarkan pada riwayat hadits:
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال: كنتُ نذرتُ في الجاهلية أن أعتكفَ ليلة في المسجد الحرام، قال: فأوفِ بنذرك
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Umar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya dulu saya pernah bernadzar pada zaman jahiliyah untuk ber-i’tikaf semalam di masjidil haram. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: penuhilah nadzarmu. (HR. Al-Bukhari, 3/63)
I’tikaf syuruq dinamakan demikian karena dilaksanakan setelah fajar shiddiq muncul hingga tiba awal waktu dhuha atau saat matahari telah terbit setinggi satu tombak.
Syarat dan Ketentuan I’tikaf Syuruq
Ada beberapa ketentuan dalam i’tikaf syuruq agar tidak terjadi kesalahpahaman dan untuk menghindari amalan yang sia-sia. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah:
Pertama, keutamaan i’tikaf ini ditunaikan dengan duduk berdzikir setelah shalat subuh. Sebagaimana zahir hadits yang disebutkan di atas. Syeikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syanqithi mengatakan, “Keutamaan tersebut mempunyai beberapa syarat, yaitu melaksanakan shalat subuh dengan berjama’ah, sehingga tidak termasuk di dalamnya orang yang melaksanakan shalat subuh sendirian.
Kedua, hendaknya duduk tersebut dibarengi dengan berdzikir kepada Allah. Jika seseorang tidur pada waktu tersebut, maka tidak akan mendapatkan keutamaan tersebut. Keutamaan hanya bisa didapat dengan memanfaatkannya untuk tilawah Al-Qur’an, berdzikir, beristighfar, membaca kitab-kitab ilmu, memberikan fatwa, memberi nasehat, atau ber-amar ma’ruf nahi munkar. Jika waktu tersebut digunakan untuk ghibah atau mengadu domba, maka tidak akan mendapatkan keutamaan ini.
Ketiga, hendaknya duduk di tempat shalatnya. Jika seseorang beranjak pergi dari tempat shalatnya lalu kembali, maka itu tidak termasuk mendapatkan keutamaan tersebut. Karena keutamaan ini sangat agung, yaitu pahalanya setara dengan pahala haji dan umrah, maka tentu keutamaan tersebut hanya bisa diraih dengan usaha. Seorang hamba harus memaksakan diri untuk menyesuaikan keadaan dengan sunnah ini, yaitu duduk hingga matahari terbit, kemudian menunaikan shalat dua rakaat. (Asy-Syanqithi, Syarh Zad al-Mustaqni’). Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Azzam Elmahdie
Wah, informasi yang sangat bermanfaat
Informasinya sangat membantu…
Semoga bisa terus berkembang😁